Selasa, 26 Januari 2010

Harteknas (Hari Kebangkitan Teknologi Nasional)



Harteknas (Hari Kebangkitan Teknologi Nasional) yang diperingati setiap tanggal 10 Agustus diwarnai krisis pembangkit listrik dan memudarnya peran insinyur mesin dalam bidang industri permesinan nasional. Sungguh ironis, ribuan sarjana teknik mesin setiap tahunnya diwisuda. Namun, peralatan dan komponen teknik mesin baik skala kecil maupun besar yang berasal dari Cina justru membanjiri Indonesia. Kita hanya bisa mengelus dada melihat perkakas permesinan, pompa, kompresor, genset, alat ukur, hingga mesin-mesin produksi sebagian besar diimpor dari luar negeri. Sedangkan inovasi teknik mesin di tanah air baru sebatas kegiatan di bengkel-bengkel kecil.

Lantas, di manakah kiprah insinyur mesin Indonesia? Padahal, sekitar pertengahan tahun ’70, para insinyur Cina masih sibuk menata dirinya dari tekanan sistem politik di sana. Sedangkan pada saat itu para insinyur Indonesia sudah leluasa dengan strategi lompat katak dan memiliki wahana transformasi industri maju, seperti industri pesawat terbang, kapal laut, kereta api, persenjataan, alat berat, elektronika, produk baja hingga industri yang melibatkan teknologi nuklir. Namun, wahana transformasi yang menghabiskan dana puluhan triliun rupiah itu sekarang ini riwayatnya justru merana dan kurang bisa menjadi problem solving persoalan bangsa. Kondisinya justru tetap menjadi beban anggaran negara. Di lain pihak, para insinyur Cina ini sedang mengalami puncak kejayaan dan mampu menggapai keunggulan teknologi dunia. Buktinya, mereka mampu membangun bendungan dan PLTA terbesar di dunia yakni bendungan Tiga Jurang. Juga mampu membangun jalan tol dan jalur kereta api terpanjang sekaligus tertinggi di dunia. Para insinyur Cina juga unggul dalam memproduksi mesin pembangkit listrik tenaga air, uap, dan gas. Produksi turbin, kompresor, dan generator dari kapasitas kecil, menengah, dan besar yang menjadi bagian integral dari instalasi pembangkit listrik mulai tersebar luas di pelosok dunia.

Tahapan transformasi teknologi dan industri di Indonesia yang puncaknya ditandai oleh terbang perdana pesawat N-250 rakitan anak bangsa pada tanggal 10 Agustus 1995 dijadikan momentum Harteknas. Semangat Harteknas sekarang ini justru terkubur oleh persoalan terkini yang dihadapi bangsa Indonesia. Utamanya persoalan sumber daya energi dan kebutuhan bahan pangan. Setelah lebih dari tiga dasawarsa sejak program transformasi teknologi dan industri dicanangkan, segenap bangsa Indonesia harus mawas diri dan dengan lapang dada harus mengakui "kesalahan" strategi dan implementasinya. Termasuk berbagai penyimpangan dan modus korupsi yang terkait proses transformasi.

Strategi lompatan katak untuk menguasai teknologi kini berbuah kegetiran. Mestinya, para pemimpin bangsa ini menengok sejarah transformasi teknologi dari bangsa lain. Seperti halnya proses transformasi di negara-negara yang sekarang ini sudah terbukti maju dan makmur. Seharusnya, Indonesia pada dekade tahun delapan puluhan terlebih dahulu menguatkan industri dan infrastruktur yang berhubungan dengan aspek pembangkit listrik dan derivatifnya.

Kita bisa menyimak pengalaman transformasi teknologi dan industri di Eropa dan Amerika yang diawali penguatan infrastruktur energi dan pembangkit listrik dengan memfokuskan pembangunan jalur pipa gas bumi sepanjang ribuan kilometer beserta puluhan stasiun kompresor untuk pembangkit listrik. Di sana setiap stasiun bisa dibangun instalasi turbin gas yang mampu membangkitkan daya hingga 330.000 kw tanpa merusak lingkungan. Betapa signifikannya peran insinyur mesin di sana pada waktu itu dalam membangun pembangkit listrik dan jalur gas bumi sepanjang 5.000 km yang membentang dari laut utara dan Rusia hingga Swiss. Dengan jalur pipa itu, negara-negara di Eropa memiliki suplai energi yang cukup untuk pembangunan berkelanjutan.

Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat, dengan dibangunnya jalur gas bumi Transcanada-Pipeline lebih dari 6.000 km beserta 37 stasiun kompresor. Perlu digarisbawahi bahwa proses kerja pengaliran gas bumi di sana sangat sulit karena dihadang oleh kondisi alam yang sangat ganas dan cuaca yang ekstrem. Di lain pihak, gas bumi milik bangsa Indonesia yang juga melimpah pada saat ini justru dijual mentah-mentah ke negara tetangga dengan harga yang sangat murah. Banyak industri dalam negeri yang setengah mati karena kurangnya pasokan gas. Serta kiprah insinyur mesin yang terus terdegradasi karena sumber daya alam bangsa ini diekspor mentah-mentah sehingga sangat kecil nilai tambah industrinya.

Mestinya kapasitas industri nasional kita diarahkan untuk memproduksi berbagai jenis turbin, kompresor, generator, pompa, dan berbagai perkakas permesinan. Begitu pula para insinyur mesin mestinya digenjot kompetensinya sehingga unggul dalam hal desain dan produksi. Namun, pada saat itu, B.J. Habibie sebagai "panglima" teknolog tidak tertarik dengan pengembangan teknologi pembangkit listrik tenaga gas, air, apalagi uap karena dinilai effort dan pengembangan teknologi semacam itu sudah senja.

Sekadar catatan bahwa teknologi Turbin Kaplan yang merupakan turbin baling-baling yang memiliki kecepatan lebih tinggi dari jenis turbin lainnya telah dikembangkan Prof. Kaplan sekitar tahun 1920. Teknologi PLTU berbahan bakar batu bara sama sekali tidak "dilirik" B.J. Habibie. Ketika dunia sedang getol-getolnya meningkatkan performansi teknologi turbin Francis, di tanah air, Menristek B.J. Habibie lebih suka mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir dan tenaga surya. Padahal, teknologi turbin Francis, yang pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh warga negara AS bernama Francis dan Howk pada 1950 itu sekarang ini merupakan jenis turbin pembangkit listrik yang paling banyak diterapkan dan dikembangkan. Dalam situasi krisis energi dunia, turbin itu telah menjadi "juru selamat" warga dunia. Masih segar dalam pikiran kita, langkah progresif B.J. Habibie dalam merencanakan dan menyiapkan infrastruktur PLTN. Sayangnya, hingga kini ambisinya itu belum terwujud karena terganjal berbagai rintangan teknis dan sosial.

Ternyata, mahkamah sejarah berkata lain, krisis listrik dan kenaikan harga minyak dunia yang sangat eskalatif memaksa bangsa Indonesia menoleh kembali kepada sumber daya "primitif" yakni batu bara, air, dan panas bumi untuk pembangkit listrik. Hal itu diwujudkan oleh pemerintahan saat ini dengan membangun megaprojek 10.000 mw tahap pertama yang terdiri atas 10 PLTU skala menengah dan besar serta 25 PLTU skala kecil yang semuanya berbahan bakar batu bara. Sedangkan untuk tahap kedua dengan besaran daya yang sama (10.000 mw) terdiri atas PLTP (panas bumi) dan PLTA.

Sayang seribu sayang, megaprojek kelistrikan tahap pertama dan kedua yang membutuhkan dana yang luar biasa besarnya itu ternyata kandungan lokalnya (local content) sangat kecil. Sebagian besar harus diimpor dari Cina. Begitu pula proses rancang bangun dan fabrikasi untuk instalasi pembangkit listrik di atas semuanya dilakukan para insinyur dan teknisi dari Cina. Akibatnya, para insinyur mesin Indonesia gigit jari dan kehilangan kesempatan emas. Ironisnya, para insinyur kader tinggal landas dari B.J. Habibie yang dahulu disekolahkan ke luar negeri dalam bidang rekayasa pesawat terbang, sekarang ini justru menjadi penambang atau pedagang batu bara mentah yang diekspor ke luar negeri. Termasuk Ilham Habibie (putra sulung B.J. Habibie) dan rekan-rekannya yang dahulu pernah merancang bangun pesawat jet N-2130 yang gagal diwujudkan. Sekarang ini Ilham dan rekan-rekannya sedang getol-getolnya bisnis pengerukan batu bara. Sebuah produk alam dan bidang profesi yang dahulu sama sekali tidak pernah dilirik oleh sang ayah. Apakah dunia ini sudah benar-benar terbalik? Jawabnya ada di rumput kering yang sedang meradang. ***

Telah diterbitkan koran Pikiran Rakyat
Penulis, pengkaji transformasi teknologi dan infrastruktur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar