Selasa, 20 Januari 2009

indonesia kita

Cincin Matahari di Atas Indonesia
Jum'at, 16 Januari 2009 16:56 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Menjelang minggu keempat Januari mendatang adalah hari-hari sibuk bagi para peneliti Observatorium Bosscha, Lembang, dan Departemen Astronomi Institut Teknologi Bandung. Mereka bersiap menyambut datangnya gerhana matahari cincin, fenomena alam langka yang kali ini melintas di atas Indonesia pada 26 Januari 2009. Gerhana matahari annular ini sering disebut gerhana matahari cincin. Kata annular berasal dari anularis, yang dalam bahasa Latin berarti cincin. Disebut cincin karena bagian tepi matahari yang masih terlihat membentuk lingkaran cahaya. Itu terjadi karena bulan, pada fase bulan baru, akan melintas di antara bumi dan matahari sehingga menyembunyikan sebagian wajah matahari. Lingkaran cincin api yang berpijar terjadi karena bayangan bulan terlampau kecil untuk menutup cakram matahari secara keseluruhan. Sebuah pemandangan yang luar biasa. "Gerhana ini sangat istimewa karena matahari terlihat berbentuk cincin," kata Hakim L. Malasan, peneliti di Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, kemarin.Pusat gerhana akan melintasi daerah Lampung, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah bagian utara. "Gerhana cincin ini sangat istimewa karena melintasi daratan dan durasinya paling panjang," kata Hakim. "Biasanya gerhana terjadi di atas laut dan berdurasi pendek sekitar dua menit." Tak mengherankan bila sejumlah astronom dan pengamat astronomi dari berbagai negara, di antaranya Amerika Serikat, Malaysia, dan Jepang, datang ke Indonesia untuk menyaksikan peristiwa itu. Bosscha, ITB, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga bekerja sama melakukan pengamatan ilmiah dan sosialisasi kepada publik. Pusat pengamatan akan dilakukan di dua lokasi, yaitu di Serang, Jawa Barat, dan di Lampung. Pengamatan di pantai Anyer, Carita, dan Serang, yang dilakukan tim Bosscha bersama beberapa tim ekspedisi dari berbagai instansi dan sekolah, dilakukan untuk memberikan pendidikan publik tentang gerhana matahari. Bosscha juga berencana menyebarluaskan peristiwa alam ini kepada masyarakat dengan penayangan langsung (live) dari beberapa lokasi di Lampung, Banten, Jakarta, dan Bosscha-Lembang melalui Internet. "Hari Sabtu lalu kami baru saja mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak untuk melakukan pengamatan bersama tentang penayangan langsung itu," kata dosen di Departemen Astronomi ITB itu. "Kami juga harus sosialisasi agar masyarakat tidak memandang langsung ke arah gerhana karena cahayanya masih terlampau terang dan dapat merusak mata." Pengamatan yang lebih serius dilakukan di sebuah lokasi terpencil di kawasan Pringsewu, Lampung Selatan. Ketua Program Studi Astronomi ITB Dhani Herdiwijaya berencana akan melakukan riset untuk mengambil data sifat fisika matahari dan relief bulan.Meski gerhana matahari juga akan melintasi sebagian wilayah Kalimantan, ilmuwan Bosscha dan ITB tidak membuat pos pengamatan di sana. "Ketika lewat di atas Kalimantan sebelum berakhir di Laut Sulawesi, posisi matahari sudah hampir terbenam sehingga prospek untuk pengamatan dan pengambilan data kurang bagus," katanya. Puncak gerhana matahari cincin, yakni ketika lingkaran cahaya total terjadi, diperkirakan bisa dilihat di atas Lampung dan sekitarnya mulai pukul 16.41 WIB. "Warga Jakarta, Bandung, maupun wilayah Indonesia lainnya tidak bisa melihat cincinnya, tapi bisa melihat gerhana parsial sekitar 40 persen," katanya. "Namun, tetap harus menggunakan filter atau kamera pinhole untuk melihat pantulan gerhana pada kertas putih."Dalam situsnya, Badan Antariksa Amerika (NASA) menginformasikan bahwa gerhana matahari parsial dapat dilihat oleh penduduk di ujung selatan Afrika, Madagaskar, Australia terkecuali Tasmania, India bagian tenggara, Asia Tenggara, dan Indonesia. Puncak gerhana cincin akan terjadi pada pukul 14.58.39 WIB ketika berada di atas Samudra Hindia, dan berlangsung selama 7 menit 54 detik. Jalur lintasan gerhana akan terus bergeser ke arah timur laut dan bertemu dengan daratan di Kepulauan Cocos, serta sampai ke Lampung dan Jawa Barat, berlangsung selama 6 menit 18 detik. Seperti gerhana matahari yang terjadi di atas Antartika pada Februari tahun lalu, gerhana matahari annular kali ini juga bertepatan dengan pergantian tahun baru Cina. Peristiwa gerhana matahari cincin ini juga bertepatan dengan perayaan 2009 sebagai tahun astronomi internasional. "Ini bisa dilihat sebagai pembukaan tahun astronomi internasional di Indonesia," Hakim menambahkan. Namun, "pesta kecil" mengawali tahun astronomi itu ada kemungkinan bakal terganjal kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Apalagi sebagian warga memang mengharapkan hujan turun sebagai pertanda baik pada hari Imlek. "Kami tetap berharap pada saat gerhana cuaca cerah walaupun menurut laporan cuaca pada tanggal tersebut diperkirakan awan tebal berada di atas Lampung," kata Hakim. "Bulan Januari memang bukan prospek yang bagus karena tepat musim hujan."

GURU BESAR INDONESIA

Universitas Diponegoro Tambah Empat Guru Besar
Selasa, 20 Januari 2009 14:57 WIB
TEMPO Interaktif, Semarang: Universitas Diponegoro Semarang akan menambah empat guru besar dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka adalah Bambang Sukamto (Peternakan), V Priyo Bintoro (Peternakan), Purwanto (Teknik Kimia), dan L Tri Setyawanta (Hukum Lingkungan).Pengukuhan guru besar akan dilakukan pada Kamis (22/1). Pada pengukuhan, Bambang Sukamto akan menyampaikan pidato ilmiah berjudul "Peningkatan Produksi Ayam Melalui Perbaikan Kualitas Pakan dalam Rangka Membantu Ketahanan Pangan". Priyo Bintoro dengan judul "Peranan Ilmu Teknologi dalam Peningkatan Keamanan Pangan Asal Ternak".Purwanto akan menyampaikan pidato "Penerapan Teknologi Produksi Bersih untuk Meningkatkan Efisiensi dan Mencegah Pencemaran Industri". Sedangkan Tri Setyawanta akan menyampaikan pidato "Reformasi Pengaturan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu di Indonesia dan Tantangan dalam Implementasinya di Daerah".Sekretaris Senat Universitas Dionegoro, Lahmudin Syahrani, mengatakan dengan pengukuhan keempat guru besar tersebut saat ini Universitas Diponegoro memiliki 162 guru besar dari berbagai disiplin ilmu. "Para guru besar dituntut terus melakukan penelitian, terutama penelitian yang aplikatif yang dapat memecahkan problem ekonomi dan sosial," kata Lahmudin, Selasa (20/1).

metana di mars

Ada Metana di Mars
Minggu, 18 Januari 2009 20:08 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Sekelompok ilmuwan mengumumkan temuan tiga kawasan yang memompa metana ke atmosfer di Planet Merah. Disebutkan, konsentrasi gas yang pertama kali terdeteksi enam tahun lalu itu sebagian besar berasal dari Terra Sabae, Nili Fossae dan Syrtis Major (seluruhnya di utara katulistiwa). “Ini adalah deteksi definitif yang pertama atas metana di Mars,” kata Michael J. Mumma dari Goddard Space Flight Center, NASA, di Greenbelt, Maryland, yang menjadi ketua tim riset. Mumma mengumumkan temuan timnya itu kepada pers, Kamis lalu. “Pemetaan definitif dan identifikasi wilayah pelepasan gas metan aktif (di Mars) adalah juga yang pertama,” katanya lagi. Tim peneliti yang dipimpin Mumma menggunakan dua teleskop di Hawaii, yakni Fasilitas Teleskop Inframerah dan Keck-2, meneliti pantulan cahaya dari Mars untuk meneliti 'sidik jari' kimia gas itu. Dengan meneropongnya lewat rentang panjang gelombang yang sempit, mereka menyusun sebuah peta sebaran metan beresolusi tinggi di atmosfer Mars seiring dengan gerak rotasinya. “Kami mengobservasi dan memetakan banyak cerobong metan di Mars dimana satu diantaranya melepaskan sekitar 19 ribu ton,” kata Geronimo Villanueva dari Catholic University of America di Washington, DC, anggota tim. “Kawasan-kawasan itu mengemisikan metan di sepanjang musim semi dan panas kemungkinan karena bongkahan es yang retak dan menguap membuat metan bisa menyusup ke atmosfer Mars.” Temuan terbaru ini mau tidak mau memaksa NASA memikirkan kembali strateginya yang sibuk mencari jejak kehidupan di planet tetangga itu di bagian kutub. Satelit orbitter lainnya, yakni Mars Odyssey, mengendus adanya lapisan es disana pertama kali pada 2002 lalu. Pada konferensi pers yang sama, Michael Meyer, ketua tim ilmuwan untuk Program Mars NASA, menyatakan kalau keputusan belum lama ini untuk menunda keberangkatan misi penjelajah terbaru, Mars Science Laboratory, tahun ini menjadi 2011 nanti bisa ada berkahnya. Wahana pengganti Phoenix--yang hilang dalam misinya di Mars—itu bisa mempersiapkan sensor pendeteksi metan hingga ke konsentrasinya yang lebih akurat. Seperti diketahui kehidupan di Bumi lebih memilih memproses karbon bernomor atom 12. Menemukan kelimpahan metan di Mars yang memiliki isotop karbon yang sama akan bisa mengindikasikan asal muasal kehidupan di planet itu.